Jumat, 21 Maret 2014

Mitos Pelangi (Nipamoa) dalam Masyarakat Lio


Yulia Wirantri Farhani
195-13-569
1PA06



11 Juni 1855, dua ilmuwan Jerman, yaitu Gustav Kirchoff dan Robert Bunsen berhasil memisahkan spektrum warna yang menyusun cahaya matahari dengan menggunakan prisma. Pemisahan warna-warna matahari ini juga terjadi secara alami ketika munculnya pelangi setelah terjadinya hujan. Pelangi merupakan hasil proses pemisahan warna-warna matahari oleh tetesan-tetesan air. Jauh sebelumnya, tahun 1700-an, Newton telah menemukan konsep tentang spektrum cahaya, yaitu bahwa cahaya putih ternyata merupakan gabungan dari spektrum yang terdiri dari warna-warni pelangi. Fenomena munculnya pelangi tentu merupakan sesuatu hal yang biasa dalam bidang teknologi. Kendati demikian, dalam pandangan orang Lio, munculnya pelangi merupakan peristiwa yang sangat mendatangkan berkah. “Pelangi” dalam bahasa Lio (Flores NTT) sering disebut “Nipa Moa”. Nipa berarti Ular dan Moa berarti Haus (kehausan) Jauh sebelum mengenal teknologi canggih, masyarakat Lio kerap melihat Nipamoa sebagai fenomena alam yang sangat luar biasa dipandang sehingga masyarakat beranggapan bahwa kemunculannya sebagai berkah yang diberihkan Yang Maha Kuasa untuk kesuburan tanah disekitar. Dari berbagai sumber legenda yang masih samar, acap kali muncul pula cerita magis mengenai kehadiran nipamoa dalam tataran kehidupan sosial budaya masyarakat Lio. Sejak Ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, masyarakat Lio sering mengkaitkan dan menghubungkan nipamoa dengan tata cara bercocok tanam agar mendatangkan hasil yang melimpah dari sawah dan ladang. Sehingga kadang masyarakat beranggapan bahwa “Nipamoa” sebagai sesosok mahluk yang berwujud mirip ular dalam pewayangan yang turun dari langit. Mitos mengenai nipamoa itu sendiri bahkan telah membahana dari generasi ke generasi sehingga sulit ditampik dari kebiasaan kehidupan masyarakat Lio. Pembuktian mengenai legenda mahluk yang mirip ular ini tentunya didasari pengalaman nyata dari masyarakat Lio itu sendiri sehingga munculah berbagai spekulasi tentang nipamoa. Meskipun selalu dikaitkan dengan sosok mahkluk yang mirip ular namun hal ini tidak serta merta melahirkan perspektif yang menyeramkan pula, justru sebaliknya masyarakat selalu beranggapan bahwa nipamoa adalah suatu keagungan dan kecantikan semesta serta dihiasi keindahan berbagai warna - warni yang tertampak seperti dalam lagu-lagu kanak-kanak yang sering terdengar. Konon, menurut cerita masyarakat setempat, pada saat kemunculan nipamoa, yang pertama sekali diperhatikan adalah posisi dan arah turunnya pelangi serta posisi aliran air (kali) sehingga muncul pula berbagai dugaan dari masyarakat. Berikut ini Sebagai contoh untuk menguatkan dugaan masyarakat tersebut adalah:
Pada saat hujan turun, misalnya di wilayah Kelimutu secara tidak terduga tiba-tiba Nipamoa muncul disekitar danau Kelimutu, maka munculah berbagai pemikiran masyarakat bahwa Nipamoa tersebut turun dan minum air di danau kelimutu dan tempat itu telah diberihkan berkah. Bahkan ada pula orang - orang tertentu yang menyatakan diri berpapasan secara langsung dengan sosok mahkluk mirip ular yang turun dari langit yaitu nipamoa seperti dalam dongeng (Fiksi), sehingga orang tersebut dianggap mempunyai kesaktian yang luar biasa yang didapat dari atau dalam bahasa Lio disebut “Sakasera”. Dari sederet fenomena tentang nipamoa, hal yang paling menakjubkan adalah adanya sinkronisasi mutlak antara nipamoa dan pola bercocok tanam masyarakat setempat. Bukan itu saja, bahkan masyarakat Lio sangat mahir menguraikan dan menghubungkan semua benda-benda langit seperti rasi bintang, bulan dan matahari sebagai patokan untuk bertani ataupun berladang sebagaimana hal yang sudah dilakukan secara turun temurun dan itu terbukti sangat ampuh. Pola dan konsep semacam ini tentu sangat unik untuk jaman seperti sekarang ini yang serbah canggih. Dari segi teknologi dan ilmu metereologi tentu hal ini sangat berbanding terbalik hingga 180 derajat dengan apa yang terjadi dalam masyarakat Lio. Kendati demikian, apa yang diyakini oleh masyarakat Lio patut dihargai karena pola bertani dan berladang yang berdasarkan fenomena alam ini sudah diwariskan oleh Leluhur ribuan tahun lalu. Itulah kebesaran Tuhan yang tidak pernah terjangkau oleh nalar manusia. Semesta yang perkasa telah menggambarkan kepada manusia dalam lintas hidup yang sangat singkat agar manusia akan terus ingat akan kebesaran Tuhan karena manusia hanyalah seperti onggokan daging dan tulang yang dapat musnah dalam sekejap.
Penulis, Marlin Bato (Pemerhati Budaya)
Mahasiswa Universitas Bung Karno
Fak. Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber Inspiratif
WANES-LISE




Kraken Monster Legendaris Dari Laut Greendland


Yulia Wirantri Farhani
195-15-569
1PA06





Kraken (/ kreɪkən / atau / krɑ ː kən /) adalah monster laut legendaris ukuran raksasa konon berdiam di lepas pantai Norwegia dan Greenland. Legenda mungkin berasal dari penampakan cumi-cumi raksasa yang diperkirakan tumbuh 13-15 m (40-50 kaki) panjang, termasuk tentakel Ukuran tipis dan menakutkan penampilan ini dikaitkan dengan kraken.
Sebelumnya sudah pernah kita lihat di film JackSparrow   pirate of the caribbean, di film ini terdapat tentakel atau octopus yang sangat besar, ini merupakan suatu legenda yang menjadi fiksi di laut greendland berikut adalah history tentang kraken yang di kutip dari wikipedia.


History tentang Kraken



Abad ke-13 Old Islandia saga Örvar-Odds saga bercerita tentang dua monster laut besar yang disebut Hafgufa ("sea mist") dan Lyngbakr ("heather-back"). The hafgufa diyakini sebuah referensi untuk kraken:

Sekarang saya akan memberitahu Anda bahwa ada dua laut monster. Salah satu disebut hafgufa (laut-kabut), lyngbakr lain (heather-back). Ikan paus merupakan yang terbesar dari segala sesuatu di dunia, tetapi hafgufa adalah rakasa terbesar terjadi di dalam air.Monster ini bersifat menelan apa saja yang lewat diatasnya, baik manusia kapal bahkan ikan paus lainya yang dapat dijangkaupun dapat dimakan olehnya. Bisa saja ketika ada kapal berlayar melewati monster ini yang terlihat hanya seperti pulau karena saking besarnya.




Pierre Dénys de Montfort's "Poulpe Colossal" attacks a merchant ship.

Setelah kembali dari Greenland, penulis anonim dari Old Norwegia karya ilmiah Konungs skuggsjá (sekitar 1250) dijelaskan secara rinci karakteristik fisik dan perilaku makan binatang ini. Narator diusulkan ada hanya harus dua yang ada, berasal dari pengamatan bahwa binatang selalu terlihat di bagian yang sama dari Laut Greenland, dan bahwa setiap tampaknya tidak mampu reproduksi, karena tidak ada peningkatan jumlah dari mereka.
An illustration from the original 1870 edition
Carolus Linnaeus mengklasifikasikan kraken sebagai Cephalopoda, menunjuk nama ilmiah Microcosmus marinus dalam edisi pertama Systema Naturae nya (1735), klasifikasi taksonomi organisme hidup. Makhluk itu dikeluarkan dari edisi selanjutnya. karya Linnaeus kemudian, Fauna Suecica (1746) menyebut makhluk singulare monstrum, "sebuah rakasa yang unik", dan mengatakan itu Habitare fertur di mari Norwegico, IPSE non dum hewan vidi , "Hal ini dikatakan menghuni lautan Norwegia, tapi saya belum melihat hewan ini.
The colossal octopus: pen and wash
drawing by
malacologist Pierre Dénys de Montfort, 1801,
 from the descriptions of French sailors reportedly
 attacked by such a creature off the coast of
Angola
Kraken juga luas dijelaskan oleh Erik Pontoppidan , uskup Bergen, dalam Det Forste Forsorg paa Norges Naturlige Historie " Sejarah Alam Norwegia " ( Kopenhagen , 1752-3 ). Pontoppidan membuat beberapa klaim tentang kraken , termasuk gagasan bahwa makhluk itu kadang-kadang terlihat seperti sebuah pulau dan bahwa bahaya nyata bagi pelaut bukan makhluk itu sendiri melainkan pusaran air yang tersisa di belakangnya. Namun , Pontoppidan juga menggambarkan potensi merusak binatang raksasa : " dikatakan bahwa jika [ lengan makhluk itu ] adalah untuk menyeret manusia dari perang , mereka akan menariknya turun ke bawah "  Menurut Pontoppidan , nelayan Norwegia . sering mengambil risiko mencoba ikan di atas kraken , karena menangkap begitu banyak (maka berkata " Anda harus memiliki memancing di Kraken ". Pontoppidan juga mengusulkan bahwa spesimen rakasa, "mungkin yang muda dan ceroboh " , itu terdampar dan meninggal di Alstahaug tahun 1680. Pada 1755 , deskripsi Pontoppidan tentang kraken telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Meskipun fiksi dan subjek mitos, legenda kraken terus sampai hari ini, dengan banyak referensi yang ada dalam budaya populer, termasuk film, sastra, televisi, video game dan contoh-contoh lain-lain (misalnya prangko, sebuah rollercoaster, dan produk rum).
Pada tahun 1830 Alfred Tennyson teratur menerbitkan soneta Kraken,yang menggambarkan makhluk besar yang berdiam di dasar laut:
Below the thunders of the upper deep;
Far far beneath in the abysmal sea,
His ancient, dreamless, uninvaded sleep
The Kraken sleepeth: faintest sunlights flee
About his shadowy sides; above him swell
Huge sponges of millennial growth and height;
And far away into the sickly light,
From many a wondrous grot and secret cell
Unnumber'd and enormous polypi
Winnow with giant arms the slumbering green.
There hath he lain for ages, and will lie
Battening upon huge seaworms in his sleep,
Until the latter fire shall heat the deep;
Then once by man and angels to be seen,
In roaring he shall rise and on the surface die.






http://www.maritimeworld.web.id/2013/10/Misteri-Kraken-Monster-Legendaris-Dari-Laut-Greendland.html
Back to top